1 Win Казино Зеркало Рабочее +на Сегодня

Quem tem a sensação de que o tempo está passando rápido demais?

Parece que todos temos!

É um fato que o mundo está mudando numa velocidade muito acelerada, tecnologias, tendências, preferências, assim o futuro se torna incerto e desafiador.

Diante da complexidade e ambiguidade das nossas infinitas possibilidades de escolhas, preferimos o que é mais fácil, rápido, próximo e confortável.

Estamos vivendo no mundo VUCA. Este termo que, apesar de ter sido criado nos anos 90 pela Escola de Guerra Americana para descrever o contexto pós-guerra fria, foi incorporado para apresentar as características do atual momento em que vivemos, Volatilidade (Volatility), Incerteza (Uncertainty), Complexidade (Complexity) e Ambiguidade (Ambiguity).

Nesse mundo, vivemos uma inquietude instigante e questionadora:
O que eu faço? Como me diferenciar? Para onde sigo? Em que investir minhas energias? Como me preparar para o futuro? O que tem sentido para mim? E tendemos a escolher o que é mais fácil e nos mantém dentro da nossa zona de conforto.

Para Faith Popcorn, uma das maiores especialistas em tendências do mundo, estamos vivendo o Encasulamento e a Formação de clãs. Preferimos viver dentro da segurança do lar, pois o lado de fora é difícil, incerto e ameaçador. Em casa, vemos, comemos, ouvimos, somente o que queremos e falamos com quem queremos e, quando saímos, aproximamo-nos apenas das pessoas que compartilham dos mesmos gostos e interesses que nós, fechamo-nos em clãs.

É chegada a hora do que ela mesma, Faith Popcorn, chama de S.O.S. (Salve O Social), precisamos redescobrir e resgatar a consciência social, precisamos nos relacionar. Tudo se dá nas relações!

Sabemos que no cenário descrito anteriormente, os relacionamentos tendem a ser mais rápidos, menos “olho no olho”, sem empatia, sem conexão.

Muitas atividades que dependem de relacionamentos passarão a ser realizadas pela tecnologia. Segundo o World Economic Forum, até , “75 milhões de empregos serão substituídos pela mudança na divisão do trabalho entre humanos, máquinas e algoritmos”. Em contrapartida “ milhões de novos cargos podem surgir”, mas eles dependerão do que as máquinas não possuem, por isso, João Lúcio de Azevedo Filho, presidente da COGNIZANT BRASIL, diz: “vale investir no desenvolvimento de atividades que envolvam criatividade, originalidade e sensibilidade humana”.

Considerando todo esse cenário, fica evidente que o que vai nos manter ativos no mercado de trabalho é desenvolvermos as chamadas soft skills, ou seja, nossas habilidades socioemocionais como comunicação interpessoal, pensamento criativo, resiliência, colaboração, empatia, liderança, ética e, assim, permitir nos aproximar e nos relacionar com intenção, verdade, conexão, para de fato acessarmos nossa humanidade e a de quem estiver a nossa frente.

O conceito de ressonância positiva, apresentado pela Psicologia Positiva, aponta que experiências interpessoais trazem um aumento momentâneo do afeto compartilhado, do cuidado mútuo, favorecendo uma sincronia biológica e comportamental nos relacionamentos. Com isso, mais facilmente se constrói conexão, laços, compromissos e percebe-se um impacto na lealdade, colaboração e confiança entre as pessoas, seja individualmente ou em grupos.

Todo e qualquer relacionamento é uma experiência por si só e está nas nossas mãos, no nosso controle, na nossa vontade, fazer desta uma experiência positiva, marcante, diferenciada.

As empresas têm investido, cada vez mais, na qualidade de relacionamento com os seus clientes, ou seja, tem promovido experiências que busquem a sua satisfação, encantamento e fidelização.

Esta experiência é tão importante que uma renomada empresa de auditoria &#; PWC – recentemente apresentou uma nova métrica, o ROX – retorno sobre a experiência, além do conhecido ROI, retorno sobre o investimento. Medir e controlar a percepção pela experiência vivida, impacta diretamente nos resultados e crescimento das organizações.

Nesse mundo VUCA, escutar, empatizar, respeitar as escolhas de cada um, ter clareza dos caminhos a trilhar, flexibilizar-se e adaptar-se às realidades que se apresentam, comunicar com conexão e generosidade, inovar e pensar “fora da caixa”, são comportamentos estratégicos para destacar e revelar seus diferenciais, na vida pessoal e, também, na profissional.

Então, saia da sua zona de conforto, acesse as habilidades, aprimore, sempre temos o que melhorar, e colha os frutos.

O futuro está no valor das relações humanas e, sim, podemos ser valorosos.

Privasi merupakan konsep abstrak yang mengandung banyak makna. Privasi merupakan suatu hal yang sangat penting baik bagi individu maupun lembaga atau instansi untuk berhadapan dan berinteraksi dengan individu lain atau lembaga lain. Penggambaran populer mengenai privasi antara lain adalah hak individu untuk menentukan apakah dan sejauh mana seseorang bersedia membuka dirinya kepada orang lain, atau, privasi adalah hak untuk tidak diganggu.

Kata privasi sendiri merujuk pada padanan dari Bahasa Inggris “privacy”, yakni kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi berhubungan dengan sejauh mana seseorang secara fisik dapat “diakses” orang lain, yaitu menginginkan individu untuk mengendalikan keputusan tentang siapa yang memiliki akses fisik melalui akal, persepsi, pengamatan, atau kontak tubuh. (DeCew dalam Krisnawati, ). Sementara itu, berdasarkan kacamata hukum, masalah mengenai privasi ini telah tercantum pada Undang-Undang Teknologi Informasi ayat 19 yang menyatakan bahwa privasi adalah hak individu untuk mengendalikan penggunaan informasi tentang identitas pribadi baik oleh dirinya sendiri atau oleh pihak lainnya.

Lebih jauh lagi, Prabowo dalam Yuwinanto () menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang memengaruhi privasi seseorang, diantaranya adalah faktor personal, faktor situasional, dan faktor budaya.

1. Faktor Personal

Perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Penelitian Walden menemukan adanya perbedaan jenis kelamin mempengaruhi kebutuahan akan privasi dan cara merespon kondisi padat atau sesak.

1. Faktor Situasional

Kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyediri. Situasi fisik sekitar juga mempengaruhi kebutuhan privasi seseorang.

1. Faktor Budaya

Dalam beberapa riset, menunjukan bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diingikan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi. Desain lingkungan yang dipengaruhi budaya, seperti rumah adat juga mempengaruhi privasi. Artinya setiap budaya memiliki standar privasi masing-masing dan juga cara mereka memperoleh privasi.

1. Kepadatan

Banyaknya orang dalam suatu tempat mempengaruhi jarak sosial.

Sementara itu Robert Gifford (dalam Yuwinanto, ) berpendapat bahwa ruang personal mempengaruhi privasi, berikut beberapa unsur yang mempengaruhi ruang personal seseorang:

• Jenis Kelamin: Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri.
• Kepribadian: Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki ruang personal yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
• Trauma: Pengalaman traumatis seseorang mempengaruhi sikapnya saat ini
• Ketertarikan: Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
• Rasa Aman/Ketakutan: Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
• Jarak Sosial: Sesuai dengan teori jarak sosial Edward Hall yang membedakan empat macam jarak yang menggambarkan macam-macam hubungan, seperti jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, jarak publik.

Sumber

Apa saja sih yang didapatkan oleh pemenang? Pemenang dibagi menjadi juara 1, 2, dan 3

Pemenang juara 1 mendapatkan sepeda Bike N Bike X Crayon Shinchan X Tahilalats yaitu 18 BMX Halilintar Edition seharga Rp,00

Pemenang juara 2 mendapatkan Sonic Protect Pro by LEKA seharga Rp,00
Dan Pemenang Juara 3 mendapatkan voucher belanja sebesar Rp,00 di Bike N Bike

Eitss hadiahnya tidak hanya itu saja lho. Semua peserta mendapatkan totebag dari Bike N Bike yang isinya, yaitu:
1. Tissue Basah Nuvo
2. Masker Protector

3. Hand Sanitizer dari Wings Care 4. Curcuma Plus
5. Parfum Fresh
6. Madu Uray

7. Snack dari OMO!
8. Snack dari Maxicorn
9. Voucher Diskon up to Rp,00 untuk pembelanjaan di Bike N Bike Tokopedia

Yuk temukan koleksi sepeda lengkap dari Bike N Bike X Crayon Shinchan X Tahilalats yang gak kalah kece hanya di Official Store di Website kami goalma.org Bike n Bike is a solution to a better lifestyle.

U petak je u prostorijama Stadiona svetog Josipa Radnika predstavljen plan izgradnje novog stadiona u Sesvetskoj dolini

Novi stadion u Sesvetama

Hrvatska bi, nakon Stadiona hrvatskih vitezova u Dugopolju, pulske Aldo Drosine i riječke Rujevice, mogla dobiti još jedan reprezentativan stadion manjeg kapaciteta koji će zadovoljavati sve uvjete za odigravanje međunarodnih utakmica. Riječ je o zagrebačkim Sesvetama.

Priča o stadionu u Sesvetskoj dolini pokrenuta je prije osam godina, kad je tamošnja Croatia izborila ulazak u Prvu HNL, no sve je zapelo na financijama. U međuvremenu je klub zbog dugova propao, a svjetlije strane sesvetske nogometne priče posljednjih godina ispisuje NK Sesvete, bivši Radnik, koji se vrlo uspješno natječe u Drugoj HNL.

 &#; Stadion izgleda prekrasno. Zadovoljit će potrebe Nogometnog kluba Sesvete, ali i šire. Bit će to gradski stadion koji će koristiti i drugi klubovi Zagrebačkog športskog saveza kao i selekcije Hrvatskog nogometnog saveza &#; rekao je predsjednik Sesveta Pero Karatović za Sport nedjeljom.

NK Sesvete rekorder po broju natjecateljskih kategorija

NK Sesvete rekord je po broju natjecateljskih kategorija u Hrvatskoj, ima ih čak 18 s upisane djece. Primjerice, Dinamo ih ima 11, a Lokomotiva Svaki se vikend na Stadionu svetog Josipa Radnika u Sesvetama i pomoćnim terenima odigra 19 utakmica.

Ovaj će projekt zasigurno zajamčiti još bolje uvjete za brojne članove omladinske škole u Sesvetama, ali i konačno osigurati pristojan stadion u hrvatskoj metropoli. Na njemu će moći igrati i razni uzrasti hrvatske reprezentacije, ali i Dinamo dođe li do konačnog preuređenja Maksimira.

W , ówczesny papież Pius XI podpisał traktat laterański z ówczesnym przywódcą Włoch Benito Mussolinim. Traktat formalnie ustanowił stosunki pomiędzy Włochami i Watykanem, po tym jak relacje pomiędzy tymi państwami zepsuły masońskie rządy antyklerykalne.

Jednym z zastrzeżeń w konkordacie pomiędzy dwoma suwerennymi krajami, było że Kościół katolicki ma szereg swobód, w tym tę dotyczącą wolności wypowiedzi i myśli, zgodnie z jego przekonaniami.

Propozycja rządu włoskiego, który chciałby ustanowić „Dzień przeciwko Homofobii”, została zinterpretowana przez Watykan jako potencjalne naruszenie tej wolności. Powód niepokoju sprowadza się do podejrzeń, że ustawa zostanie wykorzystana do wpłynięcia na niektóre z podstawowych nauk wiary katolickiej, potencjalnie kryminalizując tradycyjne aspekty katechizmu.

Prałat Paul Richard Gallagher, sekretarz ds. stosunków zagranicznych, wysłał w zeszłym tygodniu wiadomość, w której wyraził obawy Watykanu. Obawy te sięgają znacznie głębiej niż tylko sprzeciwianie się byciu nazywanym „homofobem”, tak zwany Zan Bill również kryminalizowałby postrzegane zniewagi wobec osób opartych na „tożsamości płciowej”.

Stolica Apostolska dotąd nie sprzeciwiała się takiej ustawie we Włoszech, mimo że jest do tego uprawniona na podstawie warunków umowy traktatu laterańskiego. Tak dramatyczny krok świadczy o tym, że martwią się o to, co prawo będzie oznaczać dla katolików, zwłaszcza w szkołach.

Jest to również szczególnie znaczące, bo stało się błogosławieństwem papieża Franciszka do sprzeciwu wobec transgresyjnego prawa w świeckich państwach. Bez wątpienia jest to sygnał wysłany do liberalnych duchownych na całym świecie o granicach zezwolenia na procesy rewolucyjno-destrukcyjne.